Malam melukiskan warna hitam pada langit yang ditinggalkan matahari untuk berotasi. Beberapa bintang malu-malu menerima cahaya sang Dewi Malam hingga membuatnya meredup, sedang yang lain berkelip-kelip mempermainkan sinarnya untuk menggoda langit agar tak semakin pekat.
Di antara sepi yang selalu menghuni bumi di kala malam, seorang gadis dengan segala resahnya terbaring di atas rerumputan berselimut angin. Ia mentatap angin seakan sedang menyelami angkasa dengan sorot matanya yang tajam namun kosong.
“Tuhan, andai takdirku tak seperti ini…” ujar gadis itu lirih hingga suaranya yang lembut hampir tak terdengar. Setitik air bening mengalir dari matanya. Entah berapa kali dia mengadukan nasibnya yang malang kepada Tuhan, entah berapa malam yang ia lewati hanya untuk sekedar berbicara pada bintang, dan entah berapa lama waktu yang ia habiskan untuk menangis. Tapi hidupnya tak juga mengecap kebahagiaan.
Lelah mulai menjalari seluruh tubuhnya yang penat. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan saat seseorang memanggilnya dari dalam rumah, “Hellen, ayo masuk! Ini sudah tengah malam, dan udara di luar sangat dingin.”
Suara itu tak sedikit pun mengusiknya, ia tetap bergumul dengan pikirannya sendiri. “Hellen, masuklah!” wanita setengah baya itu mulai kesal karena panggilannya tak digubris. Lalu ia menghampiri Hellen yang masih terbaring di rerumputan. “Hellen, sedang apa di sini? Ayo masuklah!” perintah wanita itu dengan nada yang sedikit meninggi.
“Sudah pulang?” Tanya Hellen datar, “Kukira sudah tak ingat jalan pulang,” lanjutnya dengan seringai sinis.
“Sopanlah sedikit pada Bunda!” bentak wanita itu, “ Masuklah ke dalam sekarang juga, Bunda tak ingin kau sakit,” katanya sambil menarik tangan Hellen.
“Sejak kapan kau perduli padaku? Bukankah kau terlalu sibuk untuk sekedar mengkhawatirkan keadaanku?” Sindir Hellen sambil melepaskan genggaman Bundanya.
“Berhenti berkata seperti itu padaku, Hellen! Aku muak mendengarnya,” wanita itu sangat marah mendengar ucapan anaknya. “ Kau bahkan tak memanggilku Bunda, Hellen...” Ia menatap Hellen lekat-lekat, dan berusaha menguasai emosinya. “Hellen, percayalah, Bunda bekerja siang dan malam untuk menghidupimu dengan layak.” Wanita itu membelai rambut Hellen, namun Hellen segera menepisnya dengan kasar.
“Dan aku bosan mendengar kata-kata itu selalu keluar dari mulut Bunda setiap kali kita bertengkar seperti ini.” Hellen memalingkan wajahnya dari tatapan wanita itu.
“Tapi Hellen…” Belum sempat wanita itu menyelesaikan ucapannya, Hellen langsung berkata, “ Aku sangat lelah, aku akan pergi ke kamarku.”
***
Hellen terjaga dari tidurnya saat sinar matahari menyelinap di antara celah tirai jendela kamar. Kepalanya terasa sangat berat dan sakit, mungkin karena ia terlalu memikirkan pertengkaran dengan Bundanya tadi malam. Ia bangkit dari tempat tidur, lalu menyingkapkan tirai dan membuka jendela. Seketika udara pagi yang sejuk masuk ke dalam kamar, tapi itu masih belum cukup untuk mendinginkan kepala dan pikirannya.
Untuk beberapa menit Hellen berdiri di depan jendela, matanya menyisir ke segala arah, seperti ada sesuatu yang sedang dicarinya. “ternyata kamu kembali hari ini utnukku…” Desah Hellen dengan senyum yang mengembang di bibirnya.
Hellen segera berlari keluar rumah. Setelah sampai di pinggir danau kecil dekat halaman belakang, ia menghentikan langkahnya. Lalu mulai berjalan lagi dengan perlahan sebelum ia benar-benar menghentikan langkahnya dan duduk di atas kursi kayu yang menghadap ke danau.
“Hai kawan! Hari ini kau tepati lagi janjimu untuk menemuiku…” Hellen melayangkan sebuah senyuman tulus yang tak pernah ia berikan kepada siapa pun termasuk kepada Bunda sejak kepergian mendiang ayahnya 9 tahun silam. Saat itu Hellen benar-benar terpukul. Mungkin itulah yang mengubah sifat Hellen menjadi gadis yang tertutup dan pemarah hingga teman-temannya sedikit demi sedikit menjauhinya, dan puncaknya Hellen dikeluarkan dari sekolah karena hampir mencelakai teman sebangkunya. Semua orang di sekitarnya telah menganggap Hellen menderita gangguan jiwa.
Hellen menarik nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya dengan kasar ke udara. “Aku senang kau tak seperti Bunda yang selalu mengingkari janji yang dibuatnya sendiri,” Hellen menatap lekat, “ datanglah bsok ke sini, aku akan menunggumu untuk merayakan ulang tahunku yang ke tujuh belas!” lagi-lagi sebuah senyuman mengembang di bibir gadis itu. Matanya menyiratkan sebuah harapan, tapi jauh di dalamnya terdapat sejuta rahasia akan kesedihannya.
***
Jarum arloji menunjukkan jam setengah dua belas malam. Seperti biasa, Hellen harus sendiri saat pekat kembali menyergap bumi. Ia benci pada malam yang selalu memaksanya untuk menyesali takdir, ia benci harus mengingat sebuah kehilangan yang membuatnya hancur dan tertekan, dan ia benci harus menunggu Bunda hingga larut malam.
“Ayah…” Sebuah kata terucap lirih dari bibir Hellen.
“Tuhan, kembalikan ayah padaku…” Dengan sekejap wajah gadis itu basah oleh air mata.
Hening…
“Jika kau tak bisa mengembalikannya padaku, maka bawa aku padanya!” Teriak Hellen marah.
Suara mesin mobil memasuki halaman depan yang kemudian diikuti suara pagar terbuka. “Terimakasih, Mas…” Kata Bunda pada seseorang di dalam mobil, “Hati-hati di jalan.” Lanjutnya dengan suara sedikit manja. Seseorang mengamati adegan itu dengan wajah penuh kebencian dari balik jendela.
“Hellen?” Bunda terkejut melihat putrinya berdiri mematung dengan mata sembab tepat di depan pintu. “Pasti kau belum makan. Ini Bunda bawakan ikan goreng kesukaanmu.” Terlihat Bunda berusaha bersikap biasa pada Hellen. Tapi Hellen tak menghiraukan ucapan Bunda, ia malah mengajukan pertanyaan yang membuat Bunda bingung harus menjawab apa, “Siapa laki-laki yang mengantar Bunda?”
“Dia… Om Pram, teman Bunda,” jawab Bunda terbata.
“Teman?” Kata Hellen ketus. Seringai sinis terlihat di wajahnya.
“Sudahlah Helllen, Bunda tak ingin lagi bertengkar denganmu…” Suara Bunda terdengar parau, “Bunda lelah…”
“Lelah karena telah melayani laki-laki itu?”
PLAAK!!!
“Berhenti merendahkanku!” Satu tamparan mendarat di pipi Hellen.
“Lalu apa yang Bunda lakukan di luar sana hingga pulang selarut ini dan diantarkan seorang laki-laki?!” Bentak Hellen sambil memegangi pipinya yang terasa perih.
“Kau tak mengerti apapun tentangku, Hellen!”
“Oya? Semudah itukah Bunda melupakan Ayah? Semudah itukah Bunda menggantikan posisi Ayah dengan laki-laki itu? Bunda jahat!!!” Emosi Hellen semakin tak terkendali, nafasnya memburu dan tangannya mengepal keras.
“Tega sekali kau berkata seperti itu pada Bunda, Hellen…” Bunda terisak mendengar perkataan putrinya yang begitu menyakiti hatinya.
“Bundalah penyebab kematian Ayah!”
“Hellen…”
“Kalau saja waktu itu Bunda tak meminta Ayah menjemput Bunda, mungkin Ayah tidak akan mengalami kecelakaan itu! Dasar pembunuh!!!”
“Picik sekali pikiranmu tentang Bunda, Hellen…” Bunda semakin terisak, “Andai Bunda tahu kecelakaan itu akan menimpa Ayah, Bunda tak akan pernah biarkan Ayah menjemput Bunda malam itu.”
Hellen menatap tajam ke arah Bunda, seakan ingin menikam wanita itu dengan sorot matanya. Tapi semakin lama ia menatap Bunda maka semakin dalam pula luka yang bersarang di hatinya. Perlahan Hellen mulai meredupkan pandangannya. Tanpa berkata apa pun ia melangkah menjauhi Bunda yang masih menangis di ruang tamu, lalu menaiki anak tangga menuju kamar.
Di dalam kamar Hellen mulai merasakan rasa sakit di kepalanya. Rasa sakit yang sama dengan yang ia rasakan setelah pertengkaran-pertengkaran dengan Bunda sebelumnya.
“Aahh…” Rintihnya sambil meremas-remas kepala.
***
Hellen… Bunda harus pergi ke luar kota selama 2 hari, ada proyek di Jakarta yang harus Bunda tangani. Tadi pagi Bunda ingin pamit, Cuma Bunda liat kamu masih tidur. Bunda sudah siapkan sarapan untukmu, kamu makan ya saying… tadi malam kamu belum sempat makan. Bunda juga sudah siapkan makanan siap saji di kulkas dan sedikit uang di dalam amplop ini.
Bunda secepatnya pulang. Kamu hati-hati di rumah…
LOVE,
Bunda.
Hellen meremas surat di tangannya, lalu melemparnya ke atas meja makan.
“Bahkan hari ulang tahunku pun dia lupa…” Batin Hellen sedih.
Hellen berlari kecil menuju danau, “Maaf sudah membuatmu menunggu, kawan!” seru Hellen begitu tiba di pinggir danau. “Sekarang kita akan merayakan ulang tahunku. Hanya kita berdua.” Lanjutnya dengan senyum ceria.
Berbeda dengan biasanya, matahari pagi ini sedikit terik. Air embun pun tak ada yang menetes karena menjadi uap. Burung-burung lebih memilih bersembunyi di bawah rimbun pepohonan daripada terbang di angkasa.
Sesaat Hellen mengamati. Keningnya berkerut melihat sesuatu yang tak biasa, tiba-tiba kekhawatiran mengganggu pikirannya. “Mengapa hari ini kau pucat sekali, teman? Kau sakit?” Tanya Hellen. Tapi yang ditanya tak menjawab.
“Apa kau sudah lelah menemaniku?” Tanya Hellen murung.
Tak ada jawaban…
“Hei, kenapa kau menjauh?! Mendekatlah! Hari ini ulang tahunku, kita akan bersenang-senang,” Hellen mulai panik, “Tolong jangan pergi sekarang, aku mohon kembalilah…” Kini Hellen tak kuasa menahan tangisnya. Teman satu-satunya yang selama ini bisa membuatnya tersenyum kini perlahan memudar dari pandangannya.
“Tuhan, kau telah mengambil ayah dariku, kumohon jangan ambil temanku juga…” Gadis itu menangis sejadi-jadinya ketika menyaksikan sesuatu yang disayanginya benar-benar pergi. Ia harus merasakan kehilangan lagi.
Tiba-tiba Hellen merasakan sakit pada kepalanya. Namun tak seperti biasa, kali ini sakit yang dirasakannya begitu dahsyat, serasa ada pedang yang menusuk-nusuk kepalanya. Badannya terkulai lemas, sampai akhirnya gadis itu terjatuh dan tak sadarkan diri.
TO BE CONTINUE…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar